KETAPANG -delikcom.com ketegasan Dimas kehutanan dan perkebunan Kalbar patut diduga masuk angin,!! Kepala Dusun Simpang Tiga Semblangaan, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Syahroni, menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap PT Agrolestari Mandiri.
Ia menduga perusahaan itu mengelola kebun sawit di kawasan hutan lindung Bukit Batu Menangis tanpa perizinan kehutanan dan mengabaikan kewajiban memberikan kebun plasma kepada masyarakat pemilik lahan.
Baca juga:Kasat Reskrim IPTU Zainal Imbau Warga Sekadau Waspadai Penipuan Lewat File APK
Syahroni menyampaikan pernyataan tegasnya saat merespons hasil inventarisasi kehutanan pada 24 Oktober 2023 di Desa Sungai Kelik, Kecamatan Nanga Tayap. Hasil inventarisasi tersebut menunjukkan adanya aktivitas perkebunan sawit di kawasan hutan lindung seluas 38,662 hektare.
“Dari hasil inventarisasi, lahan seluas 38,662 hektare di kawasan hutan lindung Bukit Batu Menangis masih dikelola oleh PT Agrolestari Mandiri. Aktivitas pemupukan, perawatan, dan panen masih berlangsung hingga sekarang,” kata Syahroni.
Syahroni menegaskan, fakta ini mengindikasikan ketimpangan dalam penegakan hukum di sektor kehutanan dan perkebunan. Ia menilai aparat dan pemerintah daerah terkesan diam meski temuan itu sudah muncul sejak 2023.
“Kalau rakyat kecil yang bersalah, langsung ditindak. Tapi kalau perusahaan besar, seperti ini, justru seolah dibiarkan. Padahal, kegiatan itu jelas-jelas berada di kawasan hutan lindung,” tegasnya.
Tim inventarisasi terdiri dari petugas BTN Gunung Palung, BPP HLHK Wilayah Kalimantan, BBKHTL Wilayah III Pontianak, serta Dinas LHK Kalbar. Berdasarkan Surat Tugas Direktur Pencegahan dan Pengamanan LHK Nomor SP206-PHLHK-PPILHK-GKN.41.1-10-1 tanggal 6 Oktober 2023, tim turun langsung ke lapangan.
Mereka mencatat lokasi berkoordinat Polygon 289 dengan luasan 38,662 hektare yang digunakan untuk perkebunan sawit oleh PT Agrolestari Mandiri. Aktivitas perkebunan tetap berjalan meski kawasan tersebut berstatus hutan lindung.
“Buah sawit yang diolah oleh PKS PT Agrolestari Mandiri itu sebagian berasal dari kawasan hutan lindung Bukit Batu Menangis. Ini jelas pelanggaran,” tegas Syahroni.
Ia juga mempertanyakan sikap pemerintah dan aparat penegak hukum yang belum mengambil langkah tegas terhadap aktivitas tersebut. “Permasalahan seperti ini sudah lama. Sampai kapan dibiarkan? Kami mohon penegak hukum jangan tebang pilih,” ujarnya.
Dalam pernyataannya, Syahroni meminta pemerintah pusat dan daerah mengambil tindakan konkret. Ia menyampaikan harapan langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
“Kami mohon kepada Bapak Presiden Prabowo untuk menegaskan kepada perusahaan maupun pemerintah daerah yang selama ini diam. Jangan hanya rakyat kecil yang ditekan aturan,” katanya.
Ia menegaskan, aktivitas perusahaan di kawasan hutan lindung tak hanya melanggar aturan kehutanan, tetapi juga mencederai rasa keadilan masyarakat desa yang terdampak langsung.
Selain dugaan penggarapan kawasan hutan lindung, Syahroni menyoroti masalah pembagian plasma kepada masyarakat pemilik lahan. Ia menyebut sejak 2007 hingga 2025, PT Agrolestari Mandiri tidak memenuhi kewajiban memberikan 20 persen dari total lahan kebun kepada masyarakat.
“Izin usaha perkebunan PT Agrolestari Mandiri di wilayah Desa Simpang Tiga Semblangaan mencapai 2.025 hektare. Dari jumlah itu, 1.750 hektare sudah tertanam kelapa sawit. Sesuai aturan, masyarakat berhak atas 350 hektare kebun plasma,” jelasnya.
Aturan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Permen Pertanian Nomor 18 Tahun 2021. Pasal 43 menyebutkan, jika perusahaan tidak memberikan plasma hingga masa berlaku aturan tersebut, kewajiban mengacu pada Permen 98 Tahun 2013 yang menyatakan kewajiban itu tetap harus dipenuhi.
“Sudah 18 tahun perusahaan beroperasi, tapi kami tidak pernah menerima hak plasma. Ini bentuk ketidakadilan,” ujarnya.
Syahroni menyebut masyarakat Desa Simpang Tiga Semblangaan merasa dirugikan secara ekonomi dan sosial. Mereka kehilangan hak atas lahan dan potensi pendapatan dari kebun plasma, sementara perusahaan terus memperoleh keuntungan dari lahan yang mereka kelola.
“Kami hanya ingin hak kami dipenuhi. Undang-undang sudah jelas. Kenapa pemerintah dan perusahaan mengabaikannya? Ini menyangkut masa depan masyarakat desa,” tegasnya.
Ia menilai, jika pemerintah terus membiarkan kondisi ini, ketimpangan ekonomi di desa akan semakin lebar. “Perusahaan makin kaya, masyarakat tetap miskin di atas tanahnya sendiri,” ujarnya.
Syahroni menyerukan kepada semua pihak berwenang, mulai dari kepolisian, pemerintah daerah, hingga kementerian terkait, untuk turun tangan menyelesaikan persoalan ini.
Ia menekankan, aparat harus menindak perusahaan yang menggarap kawasan hutan lindung tanpa izin, sekaligus memastikan perusahaan memenuhi kewajiban plasma kepada masyarakat.
“Jangan hanya masyarakat kecil yang ditekan. Negara harus hadir, hukum harus ditegakkan. Kalau aturan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, ketidakadilan ini akan terus terjadi,” ujarnya.
Syahroni menutup pernyataannya dengan harapan besar kepada Presiden Prabowo Subianto. Ia berharap presiden memerintahkan penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar aturan dan menindak tegas siapa pun yang membiarkan pelanggaran tersebut.
“Saya mohon kepada Bapak Presiden Prabowo untuk mengabulkan tuntutan kami. Kami ingin lahan plasma 20 persen diberikan kepada masyarakat dan aktivitas di hutan lindung dihentikan. Kami tidak ingin rakyat terus dirugikan,” ujarnya.
Dengan suara lantang, Syahroni menegaskan, masyarakat Simpang Tiga Semblangaan akan terus memperjuangkan hak mereka. “Kami tidak akan diam. Ini tanah kami, ini hak kami,” tutupnya.